PENGALAMAN PROMIL PART 9: KULTUR SPERMA


Setelah suami diberi rujukan untuk kultur sperma, tanggal 20 Agustus 2019 sy mengantar suami ke Lab Prodia Jalan Mangkubumi Yogyakarta. Kami ke sana sekitar jam 19.00 WIB. Namun sayang sekali ”tidak bisa keluar”, jadi yasudah kami diminta membawa pulang wadah sampel dan sampel dikirim ke Lab besok pagi.

Keesokan paginya suami sekitar jam 6 pagi ke Lab Prodia kembali untuk memberikan sampel. Hasil kultur sperma baru bisa keluar sekitar 1 minggu. Biaya kultur sperma ini sekitar Rp 500.000,- sampai Rp 700.000,-, sy lupa karena notanya hilang 😅. Untuk persyaratan kultur sperma akan dijelaskan oleh dokter androlog nya yaak (kami sudah lupa karena sudah lama juga 😅).

Tanggal 27 Agustus 2019 hasil kultur spermapun sudah keluar. Namun kami baru sempat konsul ke dr. Seso tanggal 2 September 2019 karena kesibukan kami. Penjelasan dari dr. Seso terkait hasil kultur sperma sbb:

-Hasil kultur sperma menunjukkan adanya bakteri Staphylococcus epidermidis (untuk lebih detail ttg bakteri tsb bisa googling yaa).

-Uji kepekaan terhadap 22 Jenis antibiotik, ternyata suami sy resisten pada hampir 80% dari seluruh antibiotik tsb. Artinya terapi yg sebelumnya dg Levofloxacin untuk mengatasi leukositosispun tidak mempan karena resisten.

-Antibiotik yg masih sensitif untuk suami hanya terbatas pada Amikacin, Chloramphenicol, Gentamycin, Linezolid, dan Tobramycin.

-Karena alasan sediaan antibiotik dan harga, dr. Seso meresepkan suami antibiotik chloramphenicol untuk mengatasi bakteri yang mungkin menyebabkan leukositosis.

-Suami diterapi dengan chloramphenicol selama 14 hari dengan dosis 2 gram per harinya. Sediaan chloramphenicol ini biasanya 500 mg. Sehingga suami harus minum antibiotik sehari 4 kapsul.

-Selama mengkonsumsi chloramphenicol, kami disarankan untuk menggunakan kondom jika akan berhubungan seksual. Why? Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya infeksi silang tambahan. Selain itu, membiarkan chloramphenicol memberikan hasil kerjanya tanpa ada gangguan dari kemungkinan paparan bakteri lain dari hasil hubungan seksual.

-Konsumsi antibiotik ini harus ditaati agar tidak terjadi resisten obat. Sehingga wajib memasang alarm dan membawa antibiotik kemanapun pergi.

-Jika antibiotik habis, suami diminta untuk analisa sperma ulang setelah satu minggu dari hari terakhir mengkonsumsi antibiotik.

Kami menghela nafas panjang karena masih terkejut dg hasil uji kepekaan antibiotik. Serem juga kl banyak resisten dg antibiotik. Terus membayangkan yang enggak-enggak (kalo misal nanti terjadi apa-apa, tp semua antibiotik resisten terus gimana, dll).

Selanjutnya dr. Seso mengkaji suami terkait riwayat penggunaan antibiotik karena hasil Lab tsb. Tapi suami menyampaikan bahwa Ybs terakhir menggunakan antibiotik saat masih kecil dan waktu itu tidak ingat minum antibiotik apa dan apakah dihabiskan atau tidak. Sulit deh kalo mau diinget-inget. Kemudian dr. Seso juga menanyakan ttg kegiatan sehari-hari suami untuk memastikan kemungkinan ”ketaatan” minum antibiotik 😁.

Eh entah gimana awalnya, kami malah ngobrol-ngobrol tentang riwayat pendidikan S2 yang dibiayai oleh beasiswa LPDP. Ternyata dr. Seso awardee LPDP juga untuk Spesialisnya (malah berasa reunian awardee LPDP lintas angkatan 😅). Setelah pertemuan kedua ini kami semakin nyaman periksa dg dr. Seso. Selain beliau masih muda, pinter, scientific (soalnya kalo jelasin pasti sumbernya jurnal 😊), beliau juga asyik dan luwes kalo ngobrol dg pasien. Recommended deh dr. Seso ini.

Biaya periksa di RSKIA Sadewa
Pendaftaran Rp 8.000,-
Konsultasi dan periksa Sp.And Rp 120.000,-
Jasa sarana dan prasarana Rp 50.000,-


Sepulang dari periksa, kami langsung mencari apotik untuk menebus chloramphenicol. Tadi mau nebus di RSKIA Sadewa, tapi hanya ada sediaan 250 mg. Kalau membeli yg sediaan 250 mg, maka sekali minum harus 2 kapsul. Berarti akumulasi per hari minum 8 kapsul antibiotik selama 14 hari. Mabok ga sih bayanginnya. Untungnya yg minum antibiotik suami aja yaa, sy ga perlu minum 😁😅.

Kami menelusuri beberapa apotik besar namun tidak ada satupun yg menjual antibiotik tsb (out of stock. heran deh, kok bisa yaa 🤔). Dan yg paling sebel kalau ada petugas apotik yg kepo dg wajah sinis ”emang ini sakit apa sih kok beli antibiotik banyak sekali”. Kami tidak menjawab dan memilih untuk tersenyum dan pergi saja.

Hampir 1 minggu kami belum mendapatkan chloramphenicol 🤣. Yaa pusing juga ternyata, nyari antibiotik sesusah itu yaak. Lalu akhirnya menemukannya di apotik kecil depan Puskesmas Mlati II. Waktu itu tidak sengaja lewat dan iseng nanya, ternyata ada chloramphenicol.

Sy pun memberikan resep dari dokter dan mereka mengkonfirmasi ulang ”maaf mbak, ini memerlukan 56 kapsul chloramphenicol 500 mg?”. Sy pun tersenyum dan menjawab ”iya mbak, soalnya untuk terapi”. Petugas apotik menyampaikan bahwa sediaan chloramphenicolnya 250 mg, apakah tidak masalah? Sy dan suami mengiyakan saja karena daripada gak dapet antibiotik. Akhirnya sekitar 3 petugas apotik menyiapkan chloramphenicol kemasan 250 mg sebanyak 112 kapsul 😅. Sumpah banyak banget emang. Berasa kita ngeborong semua chloramphenicol yg ada di apotik tsb.

Alhamdulillah petugas di apotik tsb ramah-ramah dan tidak kepoan 😅. Pengemasannya pun rapi dan mereka menjelaskan aturan minumnya. Tak lupa mereka memberikan doa agar cepat sembuh. Oiya total harga 112 kapsul Chloramphenicol sekitar Rp 90.000,- sampai dengan Rp 110.000,- (kami agak lupa harga pastinya. Yg jelas ini adalah antibiotik yg murah).


To be continued....


Gambar hasil kultur sperma
Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar hasil kultur sperma uji kepekaan
Sumber: dokumentasi pribadi


No comments:

Post a Comment